Bangkitnya media sosial, yang dibarengi dengan maraknya penggunaan ponsel pintar, tablet dan latop, adalah faktor di balik munculnya bentuk baru fotografi, yakni ‘selfie’.
Seperti namanya, ‘selfie’ meliputi wajah sang fotografer dalam jarak dekat, dengan rumah atau lokasi liburan sebagai latar belakangnya, menggambarkan apapun, mulai dari potongan rambut baru hingga suasana hati yang buruk.
‘Selfie’ mudah dilakukan dan bahkan lebih mudah untuk diunggah ke media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter.
Selfie sering diartikan sebagai bentuk narsisme dan dipandang sebagai fenomena fotografi yang secara spesifik dikaitkan dengan anak muda, tapi ada alasan mengapa kita harus memperhatikan fenomena foto ini.
Potensi produktif dari selfie, misalnya, bisa dilihat dari pergerakan politik terbaru, seperti unjuk rasa di Hongkong, tempat di mana selfie secara tak sengaja menjadi bentuk jurnalisme-foto warga. Selfie memungkinkan pelakunya untuk menandakan kehadiran mereka, secara visual, pada peristiwa penting seperti unjuk rasa, dan foto-foto ini memiliki kekuatan untuk menumbangkan liputan media yang ‘mainstream’.
Selfie cenderung muncul secara organik, dibuat oleh mereka yang hadir pada peristiwa itu dan kemudian beredar di antara sesama peserta, meningkatkan keaslian mereka.
Tapi apa perbedaan selfie dengan foto sehari-hari yang diambil warga pada saat ia menyaksikan suatu peristiwa atau mengikuti suatu acara?
Melihat potret wajah dengan ukuran ‘close-up’ atau secara dekat adalah bedanya. Selfie memiliki narasi personal atas gambar di dalamnya, di mana orang yang ada dalam foto bukanlah sebuah obyek jauh dan pasif.
Dalam foto selfie, wajah dan tubuh disesuaikan sebagai kanvas untuk mengekspresikan diri. Disandingkan dengan latar belakang yang menarik, selfie dapat memicu rasa keintiman dan aksesibilitas di antara para pemirsanya.
Beberapa pengguna media sosial telah membuat seni ber-selfie naik derajat dan kini menghasilkan uang bagi mereka.
Para pengguna ini bisa diklasifikasikan sebagai mikro-selebriti media sosial – mereka memiliki jumlah pengikut yang lumayan banyak, yang bisa dipengaruhi.
Penulis blog gaya hidup di Singapura adalah salah satu kelompok masyarakat yang memprofesionalkan selfie mereka demi keuntungan ekonomi. Para penulis blog ini secara hati-hati mengunggah selfie mereka, menciptakan keintiman dengan para pengikut, yang merupakan target
Bahkan ada perusahaan iklan yang mengkhususkan diri dalam mewakili para penulis blog populer dan pengguna media sosial. Setelah mereka diwakili, ;seorang manajer bekerja untuk menengahi kolaborasi dan kesepakatan antara pengiklan dan pengguna media sosial dalam pembahasan komisi.
Dari media sosial yang ada, Instagram muncul sebagai pilihan teratas di antara para pengiklan korporat, berkat tampilan foto yang dimilikinya.
Menampilkan foto berukuran kecil yang sudah disesuaikan ukuran file-nya, Instagram membuat para penggunanya mengakses dan mengunggah foto dengan mudah. Dengan aplikasi penyuntingan foto yang dimilikinya, para pengguna juga bisa mempermak foto yang akan diunggah supaya lebih banyak disukai pengguna lainnya.
Mereka yang menggunakan Instagram untuk keuntungan finansial juga harus menemukan cara untuk memasarkan produk dan pengalaman mereka secara kreatif. Sembari menampilkan produk sebagai fokus utama dari selfie atau foto yang mungkin menggambarkan sebuah rute, hal ini juga dapat dianggap sebagai upaya untuk ‘menjual’.
Sementara selfie dapat ditampilkan dalam kemasan yang bukan sebenarnya, dengan fokus pada ‘saya’ dan ‘sekarang’, fenomena ini juga tentang orang-orang biasa yang mencoba untuk menceritakan kisah mereka sendiri. Selfie menampilkan keaslian dan keintiman, dan memiliki potensi ekonomi.
Komentar Terbaru