Jumat, 12 Desember 2014, jam 18.30 (Artist Talk) & 19.30 (Opening)
Dimeriahkan oleh: Friday Night Jazz ViaVia by Travel Band
ViaVia Café & Alternative Art Space | Jl. Prawirotaman 30 Yogyakarta
Pameran Berlangsung sampai 12 Januari 2015
Identity Parade | Maradita Sutantio
Kesadaran manusia sebagai mahluk hidup dan eksistensinya dalam berhubungan dengan mahluk hidup lain adalah tema besar dalam karya-karya Maradita Sutantio. Hubungan tersebut membuat manusia selalu dalam posisi bernegosiasi dengan berbagai aspek yang sangat luas, lebar dan intangibles. Dalam pameran tunggalnya ini Dita melakukan sebuah riset terhadap identitasnya sendiri dan jejak-jejak yang terekam dalam hubungannya dengan lingkungan sosial.
Secara etimologis, identitas merupakan situasi dimana manusia mampu berkaca dan menemukan berbagai tanda khas melalui pertautan sisi internalnya dengan eksternal (hal ini mengacu pada kondisi; sosial, politik, budaya, gender, psikoanalisis, dll). Selain itu, manusia tidak hanya berusaha untuk mencari dan mengenal dirinya sendiri. Ia juga berusaha untuk memberi identitas kepada orang lain.
Identity Parade, merupakan perayaan atas makna identitas diri yang dianggap telah jelas dan berhasil ditemukan. Identitas/ tanda-tanda khas yang diadopsi (dan teradopsi), berperan menjadi kulit terluar yang muncul berlapis untuk menata dan mengelola makna proses interaksi dengan dunia sosial. Seperti jaket dan pakaian, tanda khas tersebut dapat dipilih dan diganti dengan cepat – menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi.
Sebelum berhasil menemukan identitas diri, saya, anda, dan mungkin kita semua pasti pernah memasuki masa-masa kritis dalam proses pencarian makna diri dan remeh-temeh- nya. Erik Erikson menyatakan krisis dan pembentukan identitas akan selalu terjadi pada setiap tahap kehidupan seseorang pada tiap-tiap tingkatan usia tertentu. Penemuan identitas yang dirayakan ternyata tidaklah mutlak dan solid, ia selalu berubah dan bergerak, sebagian faktor pengubahnya bahkan diluar kendali kita sebagai si empunya identitas. Identitas menjadi benda murahan yang semakin mudah terberi dan termanifestasi faktor luar – diluar si pemilik identitas.
Identity Parade | Sebuah Pengantar
*Oleh: Kiki Rizky Soetisna P.
Perbincangan saya dengan Maradita tidak pernah semenarik hari itu. Diawali dengan pertanyaan, yang menurut saya cukup filosofis, Dita menanyakan “Apakah identitas itu tunggal ataukah jamak?” kurang lebih seperti itu, walaupun kata-katanya secara detail saya sudah lupa. Kemudian dengan spontan, nyaris tanpa dipikir, sayapun menjawab, “Oh ya jamak!”. Akhir-akhir memang saya jadi disibukan dengan memikirkan alasan mengapa saya menjawab demikian higga tulisan ini dibuat. Jelas alasannya bukan karena sekarang manusia doyan berganti penampilan atau kerap dianggap tidak memiliki identitas yang jelas, secara gender hingga keyakinan. Krisis identitas yang biasa kita alamatkan pada anak remaja nanggung bukanlah sebuah kondisi tanpa indentitas dan yang bersangkutan kemudian melakukan pencarian lewat berbagai macam kegiatan ataupun melalui beragam referensi dari orang tua hingga idola. Krisis identitas, jika kita pikirkan kembali, rupanya lebih pada sebuah kondisi dimana si individu mulai menyadari kediriannya, sehingga kemudian merasa perlu untuk memaknai dan mempertanyakan konsep dirinya tersebut, setuju?
Fase tersebut saat ini mengalami sebuah bentuknya yang baru, jika kita tidak ingin menyebutnya buruk, saat ini persoalan eksternal yang terjadi di luar individu menciptakan sebuah kondisi abnormal, seperti dalam tulisan Yasraf Amir Piliang yang berjudul Abnormalitas dan Dekonstruksi Identitas (Piliang, 2010:363), menyoal paska perubahan arus kebudayaan akibat resistensi kaum marginal yang berakibat munculnya gejala, pandangan dan arus baru. Masih dalam tulisan yang sama, arus globalisasi lewat teknologi informasi membuka kesadaran bahwa kebudayaan dunia bukan hanya luas namun juga jamak dan beragam serta berujung pada kesadaran diri dan pilihan bebas dalam pluralitas kebudayaan. Dalam kondisi global tersebut bermunculanlah pilihan bebas individu dalam memaknai diri, namun disatu pihak pilihan bebas tersebut terlibat dalam sebuah multi-hubungan dan multi-interaksi.
Sore itu perbicangan kami berlanjut pada penganalogian indentitas, jika ia berlapis maka analogi apa yang paling tepat untuknya? Apakah identitas berlapis layaknya bawang, yang setiap dibuka lapisannya kita akan menemukan lapisan lain terus menerus hingga nihil menjadi akhir. Ataukah seperti lapisan bumi yang semakin digali, pada akhirnya akan menemukan inti terdalam? Pertanyaan maha penting berikutnya adalah apakah indentitas merupakan hasil dari pencarian diri yang bersifat individual ataukah hasil dari persilangan global dan pemaknaan dari kelompok sosial? Nampaknya semua pertanyaan tersebut yang ingin ia urai pada setiap karya dalam pamerang tunggalnya kali ini.
Dalam pameran tunggalnya ini Dita melakukan sebuah riset terhadap identitasnya sendiri dan jejak-jejak yang terekam dalam hubungannya dengan lingkungan sosial. C.G. Jung seorang tokoh psikologi analisis menganalogikan bahwa tubuh kita adalah pembawa jejak-jejak evolusi, sedangkan kesadaran kita adalah pembawa jejak-jejak pikiran masa lampau. Jung dengan konsep ketaksadaran kolektifnya meyakini bahwa ada wilayah yang lebih dalam dari ketaksadaran yang memuat memori kolektif kita sebagai spesies dan termanifestasikan lewat simbol-simbol, mimpi, perilaku, bahkan secara fisik dalam artefak kebudayaan masa lampau. Boleh jadi pencarian Dita tidak sedalam apa yang dilakukan Jung, namun dalam karyanya Zero Starting, ia menggambarkan semodel mandala, yang dijahit menggunakan benang di atas kain. Mandala merupakan representasi self, diri terdalam atau Atman dalam tradisi Hinduisme yang merupakan titik terdalam, pusaran dari seluruh bentuk kesadaran yang bersifat sangat esensial.
Dari sangat dalam, Dita melompat ke yang sangat luar, dalam Identity Parade, ditampilkan enam sosok dirinya sendiri dalam berbagai macam peran. Persona (personality) dalam kajian Jung merupakan lapisan terluar, berasal dari bahasa Yunani yang berarti topeng, personaliti merupakan sebuah cara merepresentasikan diri dlam kehidupan sosial. Karya Who Are We, berupa konfigurasi bentuk abstrak dari tarikan-tarikan benang yang sekilas terlihat bagaikan jaring-jemaring. Berangkali kita bisa asumsikan Dita tengah menelaah kediriannya lewat hubungannya dengan yang lain, relasi yang dibangun (networking) yang sedemikan luas, bisa ikut membentuk siapa kita, atau justru membingungkan konsep diri tersebut.
Menarik untuk menyimak rangkaian karya yang berjudul Construction, Sameness dan Childhood. Dalam karyanya itu Dita menampilkan foto dirinya dengan latar belakang tempat ia dibesarkan. Dita membiarkan karyanya tersebut dalam warna monokromatik, saya asumsikan barangkali Dita tengah mereduksi pemaknaan simbolik yang mungkin saja muncul akibat warna tertentu. Bagian mata pada setiap figur diri tersebut ditutupi oleh benang yang ia jahitkan sedemikian, bukan dalam rangka menghias tentu saja, walaupun pada akhirnya nampak begitu estetis. Dita bercerita bahwa pencariannya tersebut kemudian berakhir pada kunjungan ke rumah lama keluarganya. Tempat ia tumbuh dan mengalami hampir seluruh fase dalam kehidupannya. Menurutnya persinggungan dengan sekitar; tetangga, jalanan, rumah-rumah, tukang parkir, pedagang, dan seluruh kejadian yang pernah terjadi di sana ikut membentuk identitasnya kini. Tetangga, tukang parkir, pedagang, dan setiap kejadian tersebut bukanlah entitas yang lain dan tidak berhubungan bahkan berjarak, melainkan liyan yang penting (dalam istilah sosiologi disebut significant others yang berarti orang-orang terdekat yang memiliki pengaruh pada eksistensi seseorang). Significant others dalam kehidupan Dita bisa sangat berarti, setiap persinggungannya dengan siapapun dan apapun, seseorang maupun lingkungan dan setiap jengkal jalanan yang telah ia tapaki. Pencarian tersebut di satu sisi menguak serta mengurai kembali setiap persinggungan yang membentuk Dita kini, namun di sisi lain menguak sebuah kesadaran bahwa begitu berjaraknya ia dan setiap fragmen yang ingin dikumpulan. Mengingat bisa berarti mereduksi, bahkan mendekonstruksi.
Terakhir, saya ingin mengucapkan selamat berpameran Mizz, cant wait to see your next bombastic project ahead! Long life and prosper!
Info lebih lanjut & Minat Karya:
Rennie “EmonK” | 081802221882 | [email protected] | viaviajogja.com
Komentar Terbaru